Rumah Penting bagi Gajah Sumatera,Taman Nasional Tesso Nilo Sumatera Terancam “Direbut” Manusia
Taman Nasional Tessa Nilo, TNTN di Riau, rumah penting bagi gajah Sumatera, kini menghadapi ancaman serius. Populasi gajah liar di kawasan ini terus menyusut dari sekitar 200 ekor pada 2004, kini tersisa 150 gajah.
Perambahan hutan dan masifnya alifungsi lahan menjadi kebun sawit menjadi penyebab utama. Situasi ini membuat rumah gajah kian terancam karena lebih dari separuh wilayah Taman Nasional Tesso Nilo telah berubah fungsi.
Gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo terbagi di dua lokasi utama yaitu Tesso Utara dan Tesso Tenggara.
Di Tesso Utara terdapat satu kelompok dengan jumlah sekitar 30 ekor. Sementara itu, Tesso Tenggara menampung populasi lebih besar yakni sekitar 120 ekor yang tersebar dalam 3 hingga 4 kelompok berbeda. Meski begitu, Balai Taman Nasional Tesso Nilo menganggap penurunan tersebut tidak terlalu ekstrim dan populasi dianggap masih cukup stabil.
Faktor utama penurunan populasi gajah adalah perambahan hutan dan konversi lahan secara besar-besaran menjadi kebun. Perambahan ini mempersempit ruang gerak gajah sehingga mereka kesulitan mencari makanan dan obat-obatan alami. Hutan alam Tesso
Nilo adalah apotek satwa liar yang vital untuk kesehatan gajah sehingga keberadaannya sangat penting dijaga.
Oleh karena itu, penghentian perambahan hutan harus dilakukan untuk mencegah kepunahan gajah. Kerusakan hutan ini tidak hanya mengancam satwa tetapi juga manusia, ditandai dengan banjir hampir tahunan di desa air hitam dan lubuk kembang bunga. Karena Taman Nasional Teso Nilo adalah hulu sungai Nilo, kerusakan di kawasan ini dapat menciptakan masalah lingkungan yang mempengaruhi kedua belah pihak gajah dan kehidupan manusia.
Secara geografis, Taman Nasional Teso Nilo terletak di dataran rendah Sumatera Timur dan dapat dijapai sekitar 5 jam dari pekan baru. Total luas kawasan konservasi ini adalah 167.000 hektare, namun sekitar 100.000 hektare dari total tersebut kini sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat lokal maupun pendatang.
Banyak pelaku pengalihan lahan ini tidak mengetahui bahwa area tersebut adalah Taman Nasional sebab mereka menganggap lahan itu tidak terkelola. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perebutan lahan yang membuat hampir 60% kawasan Taman Nasional Tesso Nilo berstatus tumpang tindih pemanfaatannya. Lalu bagaimana awal mula terbentuknya Taman Nasional Teso Nilo?
Sejarah Taman Nasional Teso Nilo dimulai pada tahun 1970-an ketika dua perusahaan yaitu PT Dwi Marta, PT Inhutani dan PT Nanjak Makmur mendapat izin hak pengusahaan hutan HPH seluas 160.000 hektare untuk penebangan kayu. Pada 1990-an, PT. Dwi Marta diakui sisi oleh PT.Inhutani IV yang terus melanjutkan penebangan hingga 1998. Setelah kayu habis, PT. Inhutani IV mengusulkan izin lain sementara izin PT.
Nanjak Makmur diperpanjang. Pada 2001, WWF secara resmi mengusulkan agar kawasan 120.000 hektare di Tesso Nilo dijadikan Taman Nasional untuk melindungi gajah. Proses tersebut berakhir dengan pencabutan izin PT.Inhutani IV oleh pemerintah.
Kemudian pada 2003, Taman Nasional Tesso Nilo secara resmi dibentuk dengan luas awal 57.000 hektare. Setahun kemudian, ditambahkan 38.000 hektare kawasan hutan produksi terbatas HPT. Pada saat yang sama, masyarakat membangun kampung dan kebun sawit di bekas lahan HPH mengira itu adalah tanah terlantar dan hidup tanpa mengetahui bahwa lokasi mereka telah menjadi Taman Nasional.
Perluasan kembali terjadi pada 2009 setelah pemerintah mengakui sisi ex-lahan PT. Nanjak Makmur seluas 44.000 hektare. Luas akhir Taman Nasional Tesso Nilo ditetapkan pada 2014 menjadi 81.793 hektare,menjadikannya salah satu kawasan konservasi utama Sumatera. Berdasarkan buku Taman Nasional Sumatera, lokasi Taman Nasional Tesso Nilo secara administratif berada di Kabupaten Pelalawan dan Indra Giri Hulu Riau. Secara
geografis, kawasan ini memiliki ketinggian 100-200 meter di atas permukaan laut dengan bentuk lahan datar hingga sedikit bergelombang.
Ahli geografi Verstappen mencatat, bagian timur adalah rawa dataran rendah, sementara bagian barat adalah dataran tinggi. Jenis tanah dominan di Taman Nasional Tesso Nilo adalah Haplohemist dan Paleudults yang mengandung gambut tropis dan pasir kaolinit. Kawasan ini tergolong memiliki iklim sengat basah dengan curah hujan tahunan yang tinggi mencapai antara 2.000 hingga 3.000 mm.
Ekosistem hutan dataran rendah di Taman Nasional Tesso Nilo adalah salah satu yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di Sumatera. Kawasan ini mencatat keberadaan 57 suku flora, 165 marga, dan total 360 jenis tanaman berbeda. Selain tumbuhan penting, di Taman Nasional Tesso Nilo juga ditemukan sekitar 82 jenis tanaman obat.
Taman Nasional Tesso Nilo pun menjadi habitat penting bagi beragam fauna. Sebagai pusat konservasi gajah Sumatera, Taman Nasional Tesso Nilo juga berfungsi sebagai destinasi wisata alam dan edukasi. Langsung dapat menyaksikan kehidupan gajah di alam liar, mengamati burung, dan menjelajahi flora fauna endemik.
Taman Nasional Tesso Nilo memperlihatkan dua wajah yang saling bertentangan. Di satu sisi, kawasan ini adalah habitat vital gajah Sumatera dan pusat keanekaragaman hayati yang kaya. Namun di sisi lain, lebih dari setengah areanya telah beralih fungsi menjadi kebun sawit akibatadanya tumpang tindih penggunaan lahan antara pengelola dan masyarakat.
Meski demikian, berbagai upaya terus dilakukan termasuk restorasi hutan, penegakan hukum, dan edukasi. Peluang konservasi ini pun membutuhkan kolaborasi semua pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga wisatawan agar keanekaragaman hayati Taman Nasional Tesso Nilo sebagai harta Indonesia tetap terjaga.
Penulis: Aini

