Banjir yang terjadi di Sumatera: Kombinasi Faktor Alam dan Ulah Manusia
Ruangkaji.id – Ancaman alam tidak bisa dihindari, tetapi campur tangan oleh manusia yang menentukan skala kerusakannya.
Jumlah korban meninggal dunia setelah banjir dan longsor melanda sejumlah daerah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat terus bertambah.
Akhir November 2025 telah terjadi suatu bencana alam dan menjadi lembar kelam bagi warga Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hujan yang begitu deras yang turun tanpa jeda selama beberapa hari mengubah sungai yang biasanya jinak menjadi arus liar yang meluluhlantakkan permukiman warga.
Banjir bandang dan tanah longsor itu juga menenggelamkan desa, merusak fasilitas umum, dan memutus akses listrik, jalan serta komunikasi. Situasi pun terus memburuk dari hari ke hari.
Dashboard Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan angka korban terus bertambah menjadi 1.053 jiwa berdasarkan data yang diakses pada Rabu (17/12/2025) pukul 08.00 WIB.
“Data per tanggal 16 Desember 2025, total korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor di tiga Provinsi itu sebanyak 1.053 jiwa,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Abdul Muharu dalam jumpa pers yang disiarkan di YouTube BNPB, Selasa (16/12).
Muhari merinci bahwa kini secara akumulasi terdapat 449 korban tewas berasal dari Aceh, 360 jiwa dari Sumatra Utara, dan 244 jiwa dari Sumatra Barat.
Di Sumatra Utara, area terdampak paling parah yakni Kabupaten Tapanuli Tengah. Badan penanggulangan bencana daerah Tapanuli Tengah (BPBD Tapteng) merilis update data terbaru pascabencana banjir bandang dan longsor, data per 16 Desember 2025, jumlah korban meninggal dunia terus bertambah menjadi 127 orang, dalam pencarian 45 orang, dan pengungsi 10.887 jiwa, Sementara itu, korban luka-luka yang ditemukan selamat dari bencana tercatat sebanyak 26 orang di sejumlah kecamatan.
Citra satelit di bawah memperlihatkan banjir di jalan lintas kabupaten, Jalan Sibolga-Barus, dan area di sekitarnya di Kecamatan Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Jalan Murai, Kota Sibolga, Sumatra Utara
Di Aceh, total ada 105.992 jiwa pengungsi yang terdata secara detail dari total 545.390 orang pengungsi, menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari dalam konferensi pers di Banda Aceh, Rabu (17/12/2025)
Gubernur Aceh Muzakir Manaf menyebutnya sebagai “tsunami kedua”.
Foto di bawah menunjukkan banjir di pesisir pantai yang merendam empat kecamatan di Aceh Utara yakni Seunuddon, Baktiya Barat, Baktiya, Tanah Jambo Aye, dan dua kecamatan di Aceh Timur yaitu Madat dan Simpang Ulim.
Jembatan putus di Kabupaten Pidi Jaya, Aceh
Kombinasi Faktor Alam dan Manusia
Mengapa bencana yang menimpa Pulau Sumatra begitu besar? Apa penyebabnya? Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM menyatakan bencana banjir bandang di akhir November 2025 sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri.
Bahkan para ahli menilai fenomena ini merupakan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir. Kombinasi faktor alam dan ulah manusia berperan di baliknya. BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumut diguyur lebih dari 300 mm hujan per hari pada puncak kejadian. Curah hujan ekstrem ini dipicu oleh dinamika atmosfer luar biasa, termasuk adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka pada akhir November 2025. Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu.
Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh di penghujung November 2025 meninggalkan jejak kehancuran luar biasa. Hujan deras yang turun terus-menerus selama beberapa hari menyebabkan sungai-sungai meluap dan lereng perbukitan runtuh. Ratusan desa terendam banjir dan infrastruktur vital terputus, dan banjir bandang inipun menelan ratusan korban jiwa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat mencatat sejak awal tahun hingga November 2025 telah tercatat 2.726 kejadian bencana hidrometeorologi, dan banjir bandang akhir November tersebut menelan lebih dari 1.053korban jiwa di tiga provinsi terdampak. Gubernur Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan dan Gubernur Aceh serentak menetapkan status tanggap darurat bencana selama 14 Kayu gelondongan menumpuk usai terbawa arus banjir bandang di Tapanuli Selatan
Sebagian besar wilayah terdampak berada di dataran rendah dan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS), area yang secara alami menjadi tempat berkumpulnya aliran air dari daerah yang lebih tinggi.
Defortasi yang berlangsung dalam skala besar, diperparah dengan perluasan perkebunan sawit, penambangan, pendirian permukiman di bantaran sungai, serta pembangunan infrastruktur pada zona rawan longsor, juga telah menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga air dan penstabil tanah. Perubahan penggunaan lahan inilah yang membuat bencana tidak hanya terjadi, tetapi juga meluas dan merugikan.
Tanpa pembenahan serius, setiap puncak musim hujan bisa mendatangkan petaka serupa di masa mendatang. Alam memiliki kapasitas daya dukung dan daya tampung yang terbatas untuk menahan gempuran cuaca ekstrem. Ketika manusia merusak lingkungan melebihi ambang batas maka alam akan memberikan bencana yang dahsyat. Oleh sebab itu, upaya mitigasi dan pengurangan risiko bencana ke depan harus menyeimbangkan antara pendekatan struktural dan pendekatan ekologis.
Banjir bandang yang berulang inipun menjadi pengingat bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan daya dukung lingkungan. Dengan melindungi hutan, menata ruang berbasis mitigasi, dan meningkatkan kesadaran ekologis, masyarakat di Sumatra dan Indonesia secara umum dapat menjadikan Indonesia lebih tangguh menghadapi ancaman banjir bandang dan longsor yang mungkin meningkat seiring perubahan iklim. Tragedi akhir November 2025 ini, hendaknya menjadi titik balik untuk bergerak menuju keseimbangan baru, keselamatan masyarakat terlindungi dengan tetap menjaga kelestarian alam.
BMKG telah mengupayakan peringatan dini cuaca ekstrem dan potensi banjir bandang setiap memasuki puncak musim hujan. Informasi-informasi ini harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan langkah-langkah seperti simulasi evakuasi, penataan ulang permukiman rawan, dan memastikan kapasitas tanggap darurat memadai.
Penulis: Nurul Citra Mawarrdah
Editor: Aqmarina Rasyiiqah

