PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU YANG TIDAK KUNJUNG TUNTAS DAN SERUAN AKSI KAMISAN DALAM MENYUARAKAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh : Ilham Azhari
Latar Belakang
Istilah hak asasi manusia berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki Seseorang bersifat mendasar. Jumlah masalah Pelanggaran HAM yang terjadi lantaran kurangnya pemahaman akan nilai intrinsik setiap orang, sebagai akibatnya memudahkan orang buat melanggar HAM. Pelanggaran ini ditentukan oleh banyak sekali alasan atau faktor dan faktor yang dipercaya paling berpengaruh merupakan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Di Indonesia, hak asasi manusia sangat akrab & banyak dibicarakan Isu HAM, terutama banyak masalah HAM pada masa lalu sejauh ini yang pemerintah belum juga menyelesaikannya.
Padahal pada era Jokowo-Jk mereka berjanji akan menuntaskan masalah pelanggaran HAM berat pada Indonesia. Salah satu poin primer Jokowi berjanji melalui Nawacita buat menuntaskan masalah-masalah pelanggaran HAM. Bahkan pada janjinya, Jokowi menyebut masalah-masalah yang akan diselesaikan dalam masa pemerintahannya. Usaha menuntaskan masalah-masalah peradilan yang melanggar hak asasi manusia pada masa lalu sampai waktu ini hal tersebut masih sebagai beban sosial politik warga Indonesia Misal: Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965,” suara poin keempat Nawacita. Jokowi-JK berbicara waktu Komitmen Politik 2014
Pemerintah Indonesia tidak pernah secara resmi & menyeluruh mengungkapkan pada publik, liputan tentang kebenaran masalah-masalah pelanggaran HAM masa lalu. Akibatnya, hingga dengan hari ini korban & keluarganya terus menanggung banyak sekali bentuk penderitaan & diskriminasi, dampak ketidakseriusan Pemerintah pada menuntaskan masalah-masalah HAM dimasa lalu.
Pemerintah Indonesia tidak pernah berkomunikasi secara resmi dan menyeluruh Menyebarkan kebenaran tentang pelanggaran HAM masa lalu kepada publik. Oleh karena itu, hingga hari ini, para korban dan keluarganya terus menanggung segala macam Bentuk penderitaan dan diskriminasi, ini karena pemerintah tidak menganggapnya serius Memecahkan situasi ini.
Pembahasan
Berdasarkan pemaparan terkait kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia yang
hingga saat ini belum juga tuntas disini bisa kita nilai keseriusan pemerintah yang selama ini masih belum sanggup menuntaskan kasus kelam ini. Sehingga wajar pihak yang menganggap pemerintah tidak serius dalam menangani kasus HAM berat ini. Berangkat berdasarkan pemaparan inilah masih ada 3 yang akan saya bahas balik kasus Hak Asasi Manusia yang belum tuntas.
- Pembunuhan pada tahun 1965
Pada tahun 2012, Komnas HAM menyatakan telah menemukan pelanggaran HAM, setelah acara olahraga 30 September 1965. Adapun beberapa kasus penemuan termasuk penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan, penghilangan paksa dan direduksi menjadi perbudakan. Kasusnya belum ditindaklanjuti kembali ke kantor kejaksaan. Perkiraan jumlah korban peristiwa 1965 adalah 1,5 juta orang, kebanyakan dari mereka adalah anggota Partai Komunis atau organisasi massa lainnya.[1]Pembantaian Thalang Sari di Lampung (1989)
- Pada bulan Maret 2005, Komnas HAM membentuk Panitia Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki insiden Talangsari di Lampung pada tahun 1989. Kemudian, pada 19 Mei 2005, tim menyimpulkan ada pelanggaran HAM berat dalam insiden tersebut. Berkas penyidikan kemudian diserahkan ke Departemen Kehakiman untuk ditindaklanjuti pada tahun 2006. Namun hingga saat ini kasus tersebut belum diusut tuntas.Menurut informasi yang dirilis KontraS, terjadi penyerangan di Desa Talangsari yang dipimpin Danrem Garuda Hitam 043, Kolonel Hendropriyono.[2]
- Tragedi Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998 Komnas HAM jua sudah melakukan penyelidikan dalam peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti 1998 & terselesaikan dalam Maret 20002. Kasus ini sempat masuk ke Kejaksaan Agung berkali-kali. Namun, berkali-kali jua berkas perkara ini dikembalikan. Bahkan, berkas sempat dikatakan hilang dalam 13 Maret 2008 sang Jampidsus Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman. Tragedi penembakan Trisakti ini sendiri diperkirakan mengakibatkan korban sampai 685 orang.[3]
Dalam Konferensi Pers yang dilakukan menko Polhukam, pemerintah merilis 11 Kasus Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu ke publik, diantaranya :
- Peristiwa 1965-1966
- Penembakan misterius (1982-1986)
- Pembantaian Talangsari, Lampung (1989)
- Penembakan Mahasiswa Trisakti (1998)
- Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa (1997 – 1998)
- Tragedi Rumoh Geudong di Aceh (1989 – 1998)
- Tragedi Semanggi I dan II (1998 – 1999)
- Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh (1999)
- Kasus Wamena, Papua (2003)
- Peristiwa Wasior, Manokwari, Papua (2001)
- Tragedi Jambu Keupok di Aceh Selatan, Aceh (2003)[4]
Tidak hanya 11 masalah yang dipaparkan diatas yang dibahas, tetapi terdapat dua hal yang ingin dibahas pada penulisan Esay ini termasuk seruan aksi kamisan yang dirasa perlu buat mengedukasi & mengingatkan rakyat Indonesia sehinggga mendorong buat membuahkan aksi kamisan sebagai judul essay ini.
Pertama, adalah “Kasus Penyiraman Air Keras Penyidik KPK Novel Baswedan”. Pada 11 April 2017 seseorang tidak dikenal menyiram Novel usai sholat subuh di masjid dekat rumahnya. Akibat peristiwa tersebut mata kiri Novel pun mengalami kerusakan permanen hingga beliau menjalani pengobatan hingga ke Singapura. Setelah kurang lebih tiga tahun dua bulan, dua pelaku kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan akhirnya mampu diadili, namun disinilah kejanggalan terus berlanjut. Novel menilai proses persidangan kasus ini absurd & lucu karena terdakwa hanya dituntut memakai kurungan 1 tahun penjara yang dirasa tidak sebanding yang dialami novel baswedan sampai matanya rusak permanen. Tidak hanya Novel, Hariz Azhar selaku aktivis HAM & direktur Lokataru menilai bahwasanya “Tuntutan Rendah Penyerang Novel Aneh namun Wajar, Mereka Sekadar Boneka”. Haris menyampaikan sejak awal dirinya memang sudah bersuara mewaspadai ke dua orang yang diyakini sebagai pelaku.
Karena hasil inspeksi berdasarkan tim Haris Azhar, mereka bukanlah yang berciri pelaku kejahatan terhadap Novel. Haris Azhar menilai keduanya dipasang untuk mengakhiri polemik masalah Novel yang tidak kunjung jelas. Bahkan persidangan mengabaikan hasil dokter yang menyatakan bahwasanya kerusakan mata Novel memang disebabkan air keras bahkan cctv pun tidak dihadirkan dalam persidangan untuk menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Tidak heran banyak pendapat & statement yang menyatakan bahwa persidangan masalah pernyiraman air keras Novel ini kental memakai persidangan rekayasa.
Kedua, adalah “Aksi Kamisan”. Aksi kamisan adalah seruan aksi yang bersifat tenang & menjunjung tinggi prinsip-prinsip non kekerasan (Non Violence) dalam menyuarakan & menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM & Pelanggaran HAM Berat yang dilaksanakan setiap hari Kamis pukul 16.00-17.00 wib, mereka mengenakan sandang & atribut serba hitam, berdiri, & berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM dalam depan Istana Negara. Bermula aksi kamisan dilakukan oleh kebanyakan orang tua yang anaknya hilang dalam tahun 1998 berdiri di depan Istana Presiden setiap hari kamis jam 4 sore menanyakan “Anak Saya Mana?”. Sumarsih (satu penggagas aksi kamisan) menyebut di Indonesia sudah ada 30 kota yang menggelar Kamisan hingga waktu ini. Namun demikian, dalam beberapa kota masih ada yang mengalami pelarangan Kamisan, bahkan dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi ini dimulai pertama kali pada 18 Januari 2007, selain seruan aksi yang bertuliskan pelanggaran HAM mereka pula tidak sporadis menyurati Presiden namun dari mulai tahun 2007-2019 hanya sekali peserta aksi bertemu Presiden Joko Widodo yaitu pada 31 Mei 2018. Pertemuan itu merupakan yang pertama sesudah 11 tahun mereka melakukan aksinya. Dalam pertemuan itu, peserta Kamisan menuntut agar Jokowi mengakui masalah pelanggaran HAM yang sudah masuk dalam tahap penyelidikan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Dilansir dari komisi buat Orang Hilang & Korban tindak Kekerasan (KontraS) melalui hapage websitenya, KontraS menerima pengaduan mengenai pembatasan ruang-ruang berekspresi & berkumpul dalam Aksi Kamisan yang terjadi di Jayapura, Papua & Bukittinggi dan Sumatera Barat dalam tempo dua bulan terakhir ini. Sayangnya, pelarangan & pembubaran Aksi Kamisan ini justru melibatkan aparat kepolisian yang seharusnya bertanggungjawab menjaga keberlangsungan aksi massa. Di Jayapura misalnya, dilakukan oleh aparat Kepolisian tanpa alasan yang jelas, padahal massa aksi telah memenuhi persyaratan prosedural untuk melakukan aksi, termasuk mengirimkan surat pemberitahuan dalam pihak kepolisian sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dalam Muka Umum (terlampir). Sedangkan Aksi Kamisan Bukittinggi sudah berjalan lebih usang yakni sebanyak 13 kali semenjak tanggal 08 Februari 2018. Sementara Medan Sebagai kota Metropolitan terbesar ketiga kegiatan yang telah dilaksanakan dalam kota-kota akbar lain seharusnya sanggup menjadi refensi bagi aktivis dalam kota Medan untuk mengikuti kegiatan yg positif yg dilakukan kota lain dalam menyuarakan Hak Asasi Manusia
Namun belakangan, Aksi Kamisan ini dikecam & dibubarkan secara paksa oleh ormas intoleran memakai tuduhan yang delusional, yakni karena Aksi Kamisan dianggap sebagai gerakan PKI. Padahal apabila dicermati & dipelajari tentang aksi kamisan justru aksi kamisan merupakan sebuah aksi ataupun kampanye yang dilakukan agar warga itu tidak lupa tentang peristiwa-peristiwa bala 98 yang memakan banyak korban jiwa bahkan sengaja untuk dihilangkan. Ini juga mampu menjadi edukasi bagi para pemuda untuk memeriksa pengetahuan mereka dalam sejarah Indonesia.
Penutup
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak seluruh bagi manusia, terlepas menurut latar belakang kehidupannya baik kaya, miskin, baik bahkan dursila sekalipun terdapat hak seorang yg tidak mampu kita rampas, hanya lantaran orang tadi mengusik juga mencoba buat memperjuangkan kebenaran. Banyak menurut kita bicara mengenai kebenaran dan keadialan akan tetapi justru masih sedikit atau bahkan tidak sanggup merealisasikan kebenaran dan keadilan bila diamanahkan sebagai pengadil. Pemerintah dari zaman reformasi dimulai hingga dengan saat ini banyak yang menyuarakan & menjanjikan akan menyelidiki tuntas perkara HAM berat yang terdapat pada Indonesia melalui kampanye politik yang lantang berdiri gagah diatas mimbar, akan tetapi nyatanya disaat mereka telah sanggup mencapai yang mereka inginkan yaitu menerima kekuasaan, pemerintah justru tidak sanggup merealisasikan kampanye politiknya. Contohnya, aksi kamisan telah memasuki 14 tahun akan tetapi tidak kunjung pula terselesaikan perkara HAM berat. Sebut saja misalnya rahasia kematian aktivis HAM yang pula pendiri KontraS pertama kali yaitu Munir Said Thalib. Bahkan seseorang pilot yang diduga terdakwa perkara kematian munir yang dieksekusi 14 tahun kurungan penjara telah bebas penjara hanya butuh waktu 8 tahun.
Hak Asasi Manusia termasuk Hak atas kabar, kabar yang Valid, terpercaya dan terus diperbaharui. Masyarakat terutama keluarga korban yang sebagai korban masalah HAM mereka membutuhkan kabar mengenai masalah bahkan eksistensi keluarga mereka berdasarkan pemerintah. masih ada beberapa faktor yang mengakibatkan tidak kunjung tuntasnya masalah pelanggaran HAM masa lalu pada era Jokowi-JK. Faktor pertama lantaran kultur impunitas yang masih tinggi, lantaran Jokowi justru mengangkat beberapa pejabat yang diduga terkait terlibat kasus HAM pada masa lalu. Kita berharap bersama-sama semoga kedepan pemerintah bisa berfokus menangani masalah HAM yangt tidak kunjung tuntas ini dan semoga kita dijauhkan dari sifat seraka dan bisa merealisasikan Hak Asasi Manusia dengan sahih & baik.
Untuk mengakhiri tulisan ini perlu kita ingat petuah O’Donnel dan Schmitter yang dikutip Ifdal Kasim584 yang menyatakan :
“Sukar untuk membayangkan bagaimana suatu masyarakat dapat berfungsi sampai suatu tingkat yang akan menghasilkan dukungan sosial dan ideologis bagi demokrasi politik jika tidak disertai dengan menyelesaikan bagian-bagian yang paling menyakitkan di masa lalu. Dengan menolak berkonfrontasi dan membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan dan kebencian paling dalam, suatu masyarakat tidak hanya menguburkan masa lalunya, tetapi juga nilai-nilai etis paling dasar yang mereka butuhkan untuk menciptakan masa depan yang bergairah”.[5]
Daftar Pustaka
Sumber Jurnal
Humaniora.2011. Pelaksanaan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Di Indonesia. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Fakultas Psikologi Vol.2 No.1
Sumber Internet
Google berita. 2019. “5 Kasus HAM yang Belum Tuntas, dari Peristiwa Trisakti hingga Paniai”.
https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/10/201100665/5-kasus-ham-yang-belum-tuntas-dari-peristiwa-trisakti-hingga-paniai?page=all.
(diakses pada 15 April 2021, Pukul 14.40)
KontraS 2019. Desakan untuk Melakukan Pemantauan dan Mediasi atas Peristiwa Pelarangan dan Pembubaran Aksi Kamisan di Beberapa Wilayah di Indonesia.
(diakses pada 15 April 2021, pukul 16.40)
Sumber Buku
Lihat Ifdhal Kasim, “Jalan Ketiga” Bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa
Lalu”, dalam Ifdhal Kasim (ed.) Pencarian Keadilan di Masa Transisi, ELSAM, Jakarta, 2003, hlm. 36.
[1] Google berita. 2019. “5 Kasus HAM yang Belum Tuntas, dari Peristiwa Trisakti hingga Paniai”.
https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/10/201100665/5-kasus-ham-yang-belum-tuntas-dari-peristiwa-trisakti-hingga-paniai?page=all.
(diakses pada 15 April 2021, Pukul 14.40)
[2] Google berita. 2019. “5 Kasus HAM yang Belum Tuntas, dari Peristiwa Trisakti hingga Paniai”. https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/10/201100665/5-kasus-ham-yang-belum-tuntas-dariperistiwa-trisakti-hingga-paniai?page=all.
[3] Google berita. 2019. “5 Kasus HAM yang Belum Tuntas, dari Peristiwa Trisakti hingga Paniai”.
(diakses pada 15 April 2021, Pukul 14.40)
[4] Google berita. 2019. “Pemerintah Tangani 11 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
(diakses pada 15 April 2021, Pukul 14.41)
[5] Lihat Ifdhal Kasim, “Jalan Ketiga” Bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa
Lalu”, dalam Ifdhal Kasim (ed.) Pencarian Keadilan di Masa Transisi, ELSAM, Jakarta, 2003, hlm. 36.