Tulisan

Peluang dan Tantangan Profesi Notaris Pada Era Revolusi Industri 4.0

Oleh : Denny Syafrizal,SH (Mahasiswa Magister Kenotariatan)

Notaris pada abad XI atau XII dikenal dengan nama “Latinjse Notariat” yang merupakan tempat asal berkembangnya notariat, tempat ini teletak di Italia Utara, dari perkembangan notariat di italia ini kemudian meluas ke daerah Perancis dimana notariat ini sepanjang masa jabatannya merupakan suatu pengabdian yang dilakukan kepada masyarakat umum yang kebutuhan dan kegunannya senantiasa mendapat pengakuan dari masyarakat dan dari Negara, dari perancis pada frase ke dua perkembangannya pada perumulaan abad ke XIX lembaga notariat ini meluas ke negara lain di dunia termasuk pada nantinya tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, Notaris yang pertama kalinya diangkat adalah Melchior Kerchem, diangkat sebagai Notaris pertama di Hindia Belanda pada tahun 1620. Namun, M. Soedjak lah orang pribumi pertama yang diagkat sebagai Notaris pada tahun 1928. Jadi, dahulu sebelum M. Soedjak diangkat menjadi notaris di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda telah mengangkat Melchoir Kerchem. Itu lah cikal bakal notaris di Indonesia hingga saat ini.

Jika saat ini notaris diangkat dan disumpah oleh Kemenkumham, pada masa pemerintahan Hindia Belanda diangkat oleh Gubernur Jenderal yang merupakan Pimpinan Tertinggi di Hindia Belanda.

Notaris merupakan pejabat publik yang memiliki peran dalam melakukan perbuatan hukum yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Dalam menjalankan tugas, fungsi dan profesinya, Notaris harus menyesuaikan perkembangan zaman. Tujuannya adalah agar mampu menghadapi tantangan Persaingan Global Pada era digital ini. Para calon notaris harus mampu memberikan kreativitas dalam membangun komunikasi untuk kliennya.

Era digital atau lebih dikenal era 4.0 memberikan manfaat kepada manusia, salah satunya adalah terbukanya peluang dan tantangan. Profesi notaris merupakan profesi di bidang jasa. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat membuat Akta Autentik dan kewenangan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang. Era digital ayng dikenal sebagai era dirupsi digital yang merupakan perubahan yang menandai suatu era yang sifatnya offline ke online. Inilah yang membuat calon notaris diharapkan mampu bersaing dan berdaya guna dalam menghadapi era 4.0 yang semua berkaitan dengan transaksi elektronik.

Bahwa kewenangan notaris dalam membuat akta autentik didasari pada 1868 BW (burgerlijk wetboek), undang-undang, peraturan perundang – undangan, dibuat  / dihadapan pejabat umum yang berwenang (akta, tempat, waktu, orang).

Notaris pada era digital nantinya dalam menjalankan profesinya berbasis teknologi informasi khususnya dalam pembuatan akta. Jika saat ini pembuatan akta masih secara fisik, atau langsung berhadapan, namun di era 4.0 berhadapan tidak lagi diperlukan, tetapi dapat melalui media. Sehingga dokumen yang diperlukan cukup dengan cara mengunduhnya serta termasuk dalam tanda tangan yang harus dilakukan secara elektronik, tetapi dalam dokumen membuat akta.

Timbul pertanyaan, apakah calon notaris siap dalam menghadapi era 4.0?

Jika hal ini sudah di jalannya, bukan hanya calon notaris atau notaris itu sendiri, tetapi pemerintah juga harus menyiapkan bahkan menfasilitasi era digital bagi masyarakat luas. Karena kita ketahui notaris merupakan profesi yang diisi oleh orang yang berpendidikan dan tidak asing lagi dengan dunia elektronik. Jika era revolusi industri 4.0 ini dipaksakan, sistem hukum di Indonesia ternyata belum siap untuk menghadapi revolusi industri 4.0. karena hukum di Indonesia menganut sistem civil law yang menjadi ganjalan atau penghambat aturan berbagai bentuk transaksi elektronik yang mestinya sangat menguntungkan negara.

Dalam hal ini, hukum juga harus mampu bergerak maju dengan perkembangan teknologi agar revolusi industri 4.0 dapat di laksanakan.

Perkembangan zaman saat ini mengharuskan calon notaris agar lebih agresif dan lebih maju pengetahuannya yang tidak hanya hukum perdata, namun juga pentingnya teknologi.

Era digital atau era cyber nantinya lekat dengan notaris. Munculnya istilah cyber notary yang merupakan Istilah yang berasal dari negara bersistem anglo saxon (Common Law System). Contohnya Malaysia yang menganut sistem hukum common law. Di Indonesia sendiri adalah penganut sistem eropa kontinental (civil law) menyebutnya dengan istilah cyber notary.

Cyber Notary merupakan gagasan American Bar Assosiation Information Security Committe pada tahun 1994. Sedangkan Electronic Notary digulirkan oleh delegasi Prancis dalam forum TEDIS legal Workshop 1989 Brussel, Belgia. Pada intinya Elektronic Notary dan Cyber Notary menggunakan sarana elektronik untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat. Jika hal ini sudah diterapkan, maka Undang-undang Jabatan Notaris No. 2 tahun 2014 juga harus di revisi untuk menyempurnakan revolusi industri 4.0 pada profesi notaris.

Pada Pasal 15 ayat (1) UUJN, menjelaskan “Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”. Saat ini, dikalangan notaris sendiri belum ada yang membuat, menyertifikasi transaksi elektronik, karena aturannya belum jelas dan lengkap. Menurut Dr. Edmon Makarim: Notaris dapat memberikan layanan keterpercayaan yang mendukung sistem keautentikan dari suatu transaksi elektronik. Hal tersebut dapat ditepertemukan dengan PP 71/209 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU ITE.

Hambatan dalam Penerapan Akta Notaris Elektronik adalah belum adanya regulasi atau peraturan dalam penerapan akta elektronik tersebut. Jika dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, maka Pasal 5 ayat (4) UU ITE Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pada UU Jabatan Notaris sendiri, ketentuan dalam pembuatan akta ditafsirkan pembuatannya dengan menggunakan kertas (paper based). Jadi Pasal 16 ayat (1) UU JN Notaris Wajib:

  1. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
  2. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta

jadi penjelasannya adalah bahwa notaris harus hadir secara fisik dan menanda tangani akta di hadapan penghadap dan saksi.

Revolusi industri 4.0 bisa menjadi peluang bagi calon notaris dan bisa juga menjadi tantangan bagi notaris itu sendiri. Maka diperlukan regulasi atau peraturan yang mengkhususkan agar notaris di era 4.0 menjadi peluang yang baik apalagi dibukanya MEA (masyarakat ekonomi asean) yang tentunya menjadi peluang besar bagi notaris dalam menjalankan profesinya.

Jadi, solusi hukum cyber notary adalah dengan melakukan Judicial Review Pasal 5 ayat (4) UU ITE, Permohonan Tafsir Konstitusional UU JN mengenai kententuan akta notaris dapat pula dibuat dalam bentuk elektronik, Permohonan Tafsir Konstitusional mengenai ketentuan kehadiran secara fisik juga dimaknai dapat pula dilakukan secara virtual.

Editor : Tim Redaksi
Poto : Tim Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

Copy link
Powered by Social Snap