Suku Asli Banda Neira yang Terasingkan
Jangan mati sebelum ke Banda Neira, itu adalah ungkapan yang terkenal banget dari Sultan Syahrir untuk
menggambarkan keindahan Pulau Banda. Kalau teman Rukajiers pernah lihat ya ada gambar gunung dan juga
benteng di uang kertas seribuan, nah itu dia Banda Neira.
Belakangan ini , Banda Neira ini emang lagi hits sekali di kalangan para traveler di Maluku Tengah, terutama
destinasinya. Karena memang keindahan alamnya dan nilai sejarahnya yang terkenal. Tapi meskipun Banda
ini indah banget, tapi tempat wisata yang satu ini menjadi saksi dari kekejaman VOC yang berambisi untuk
menguasai Banda demi memonopoli rempah-rempah yang ada di sana.
8 April 1608, 13 kapal ekspedisi VOC yang dipimpin oleh laksamana Pieter Willemsz. Verhoeff tiba di Banda
Neira. Menurut catatan dari Frederik Willem Stapel dalam bukunya berjudul Geschiedenis van Nederlandsch
Indiƫ, rombongan Verhoeven ini punya misi untuk memonopoli pasar dari pulau-pulau yang kayak akan
cengkeh dan juga pala. Nah instruksi dari direktur VOC yang ada di Belanda sana, ya itu mengharuskan misi ini
tercapai gimana pun caranya.
Baik itu melalui jalur perundingan maupun pakai kekerasan. Pada saat itu pulau Banda memang udah dikenal
sebagai surganya rempah-rempah yang membuat banyak bangsa Eropa datang. Di saat Belanda datang ke
sana, masyarakat Banda ini sudah terlebih dahulu menjalin relasi dengan Inggris. Tentu saja kedatangan
Belanda ini kemudian membuat situasi memanas. Apalagi masyarakat Banda saat itu nggak mau berunding
sama VOC. Laksamana Verhoeven dan 300 prajuritnya tidak suka dengan situasi ini dan kemudian mereka
membangun benteng nasau di bekas benteng yang pernah dibangun oleh Portugis.
Karena situasi semakin memanas, para tokoh masyarakat Banda atau yang disebut sebagai orang kaya ini
kemudian menawarkan berunding dengan VOC dengan syarat mereka harus memberikan jaminan berupa 2
orang Sandra. Verhoeven kemudian setuju dengan syarat ini dan mereka berangkat bersama dengan
pasukannya. Sebagai jaminan sebagaimana diminta oleh orang kaya, laksamana Verhoeven ini membawa
serta 2 saudagar Belanda yang bernama Jan Delmore dan Nicolas De Vise. Tapi dia ini juga tetap membawa
pasukan lengkap. VOC ini kemudian juga membawa orang-orang Inggris yang sempat ditawan untuk
dihadiahkan kembali kepada orang-orang kaya ini sebagai hadiah karena bersedia untuk berunding.
Delegasi VOC kemudian tiba di tempat perundingan yang sudah disepakati, yaitu di bawah pohon besar di
pesisir timur Pulau Naira. Tapi ketika Verhoeven datang, dia nggak melihat satu orang pun orang kaya di
sana.Verhoeven kemudian meminta orang kepercayaannya, yaitu Adrian Ilsevier, untuk mencari di mana
keberadaan orang kaya. Nggak lama setelah itu, Ilsevier berhasil menemukan orang kaya berada di
pemukiman mereka yang ada di dalam hutan.
Nah, orang-orang kaya ini bilang kalau mereka itu takut bertemu sama Verhoeven karena dia ini ditemani oleh
pasukan yang lengkap bersenjata. Orang kaya kemudian meminta Verhoeven datang dengan beberapa orang
saja. Verhoeven menyetujui syarat ini dan dia membawa tidak kurang dari 30 orang untuk menemannya
berunding.
Tetapi sesampainya Verhoeven dan rombongan kecilnya itu di lokasi, ternyata itu adalah jebakan dari orangorang kaya atas kesewenangan Belanda. Rombongan kecil VOC itu kemudian disergap. Tidak kurang dari 27
orang Belanda mati pada saat itu, termasuk laksamanaVerhoeven.
Nah, jurutulis Verhoeven, yaitu Jan Pieterszoon Coen yang ikut dalam delegasi perundingan itu, bernasib
mujur karena berhasil melarikan diri. Bersama dengan sisa anggota ekspedisi VOC lainnya, dia buru-buru
meninggalkan kepulauan Banda dengan memendam dendam.
13 tahunberlalu, karir Jan Pieterszoon Coen melejit dan ia menjadi gubernur markas besar VOC di Batavia. Jan
Pieterszoon Coen kemudian ingin merealisasikan misinya untuk memonopoli Pala di Banda, yang dulu gagal ia
lakukan saat mendampingi laksamana Verhoeven. Jan Pieterszoon Coen kemudian berpikir bahwa satusatunya cara untuk bisa memonopoli Pala yang ada di Banda adalah dengan mengusir warga asli Banda.
Pada tahun 1621, Jan Pieterszoon Coen kemudian berangkat bersama armadanya yang terdiri dari 13 kapal
besar, sejumlah kapal pengintai dan puluhan Skoci. Dia juga membawa 1.600 prajurit Belanda, 300
narapidana dari Jawa, 100 samurai Jepang, dan beberapa budak. Sesampainya di Benteng Nassau, Jan
Pieterszoon Coen dan prajuritnya langsung menyerang Pulau Lonthor dan berhasil menguasai seluruh pulau.
Balai desa di tempat tersebut, dijadikan sebagai kantor gubernur Banda yang ditunjuk oleh Jan Pieterszoon
Coen. Sedangkan masjid di sebelahnya kemudian digunakan sebagai penginapan orang-orang Belanda.
Walaupun hal ini tidak mendapatkan persetujuan dari warga setempat, tapi warga Banda pada saat itu tidak
dapat berbuat banyak. Hari-hari berjalan tegang dan mencekam, namun tidak ada peristiwa yang berarti.
Sampai di suatu malam terdengar kegaduhan dari dalam masjid, di mana lampu gantung yang ada di dalam
masjid tersebut jatuh dan menimbulkan kegaduhan. Belanda kemudian curiga bahwa kegaduhan itu
disengaja karena warga sedang mempersiapkan serangan. Kericuan tidak bisa dihindarkan dan VOC
kemudian merespon dengan keras bahkan kejam. Mereka kemudian membunuh orang-orang bukan hanya di
Pulau Lonthor dan Naira saja, tapi juga di pulau-pulau lainnya. Sebagian dari mereka yang berhasil kabur,
kemudian meminta pertolongan pada orang-orang Inggris, dan sebagian lainnya kabur ke Pulau Aru dan juga
Kei. VOC dan juga serdadu bayarannya ini menggila karena mereka membunuh setiap orang yang tidak
berhasil kabur, sambil terus membakar rumah-rumah dan juga perahu milik warga.
Tepat di tanggal 8 Mei 1621, pasukan VOC kemudian menangkap 40 orang kaya dan mengeksekusi mereka
dengan sangat kejam. Menurut beberapa catatan sejarah, sekitar 2.500 orang meninggal dunia akibat
ditembaki, dianiaya, dan juga karena kelaparan. Dari 14.000 jumlah penduduk asli Banda pada saat itu,
setelah peristiwa mengerikan tersebut, hanya tersisa sekitar 480 orang saja.
Setelah VOC membunuhi dan mengusir sebagian besar penduduk asli, VOC mulai memberikan hak pakai
untuk kebun-kebun pala kepada bekas tentara dan juga pegawai VOC. Buruh yang dipekerjakan di
perkebunan tersebut adalah budak yang didatangkan dari seluruh penjuru tanah air, dan bisnis pala di Banda
kemudian dimonopoli oleh VOC.
Di lokasi pembantaian tersebut kini berdiri Monumen Parigirante. Pada monumen tersebut terukir namanama 40 pejuang dan juga tokoh masyarakat Banda yang menjadi korban keberuntungan VOC. Sederet nama
tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang pernah dibuang oleh Belanda ke Banda juga terukir namanya di
sana, seperti Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, Muhammad Hatta, Sultan Syahrir, dan tokohtokoh lainnya.
Penulis: Aini

