BeritaPolitik

Aktivis Cendikiawan Sumut: “Tabur Tuai Itu Nyata, Karma Politik dan Pelajaran Bagi Golkar Sumut”

Oleh : Rizki Adha, SM
KIMPG Sumut

MEDAN – Dalam dinamika politik, adagium “apa yang ditabur, itulah yang dituai” bukan sekadar pepatah. Ia nyata, hidup, dan terus berulang. Dan barangkali kini, hal itu sedang dialami oleh Musa Rajekshah alias Ijeck, Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Utara yang beberapa tahun terakhir menjadi tokoh sentral dalam pergerakan partai beringin di daerah ini.

Pada Musyawarah Daerah (Musda) Golkar Sumut tahun 2020, Yasir Ridho Lubis sebenarnya telah terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD. Ia didukung mayoritas DPD II dari kabupaten/kota. Namun kemenangan itu dibatalkan lewat intervensi pusat. Ijeck, yang pada saat itu bahkan belum jelas rekam kaderisasinya di internal Golkar, justru dilantik menjadi ketua. Sebuah proses yang menyisakan luka dan kekecewaan di banyak kalangan kader akar rumput.

Tak lama berselang, Yasir Ridho dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD Sumut. Alasan resmi memang administratif. Tapi dalam benak banyak kader, langkah ini merupakan bagian dari eliminasi politik terhadap lawan yang pernah menyaingi di Musda. Sebuah pola yang dianggap mencederai semangat demokrasi partai.

Kini, lima tahun berlalu, situasi perlahan berbalik. DPP Golkar tidak memberikan izin kepada Ijeck untuk maju sebagai calon Gubernur Sumut pada Pilkada 2024. Usulan nama yang diajukannya untuk menduduki kursi Ketua DPRD Sumut pun ditolak. Berbagai keputusan strategis yang sebelumnya bisa dilobi, kini tidak lagi berpihak padanya. Ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan yang diperoleh secara instan, kerap pula sirna tanpa aba-aba.

Di sisi lain, klaim “prestasi” Ijeck menaikkan jumlah kursi DPRD dari 15 menjadi 22 juga mulai menuai kritik. Banyak yang menyebut keberhasilan itu lebih pantas diberikan kepada para caleg dan kader partai yang bekerja keras di lapangan, bukan semata karena kepemimpinan satu orang.

Ironisnya, beberapa DPD II Golkar di kabupaten/kota kini juga diketahui dipimpin oleh orang-orang yang masih punya hubungan kekerabatan dengan Ijeck dari ipar hingga sepupu. Ini menimbulkan persepsi bahwa partai seolah sedang dijalankan layaknya perusahaan keluarga, bukan organisasi politik publik yang meritokratis.

Menjelang Musda XI Partai Golkar Sumut yang akan segera digelar, narasi “Ijeck harus kembali memimpin” kembali muncul di media. Namun, pertanyaan yang lebih esensial bagi kader hari ini bukan soal siapa tokohnya, melainkan bagaimana arah dan budaya kepemimpinan di tubuh Golkar ke depan. Apakah partai ini akan terus dikelola secara tertutup dan elitis? Ataukah saatnya memberi ruang bagi pemimpin yang lebih kolektif, transparan, dan tidak terjebak dalam pusaran kroni serta politik balas dendam?

Intervensi pusat memang bagian dari realitas politik nasional. Tapi pemimpin daerah harus mampu memanfaatkan kepercayaan itu untuk membangun partai, bukan sekadar mengukuhkan lingkaran kekuasaan pribadi. Golkar adalah partai besar, dan para kadernya berhak mendapatkan kepemimpinan yang adil, inklusif, serta tidak menjadikan partai sebagai alat politik keluarga.

“Tabur-tuai itu nyata,” dan sejarah telah membuktikan: kekuasaan yang diraih dengan menyingkirkan kader, bisa pula berbalik menyingkirkan pemiliknya.

Musda XI ini bukan sekadar pemilihan ketua. Ia adalah momentum penentuan arah. Golkar Sumut harus kembali pada marwahnya: partai kader, bukan partai keluarga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

Copy link
Powered by Social Snap