CerpenSosialSosial MasyarakatTulisan

Indahnya mentari Ibu | Cerpen |

Oleh : Safira Zahrani

Kita semua sama-sama tau bagaimana besarnya peran seorang Ibu dalam kehidupan kita. Tetap sabar selama mengandung 9 bulan, tetap tabah dalam menahan sakit saat melahirkan, selalu mencoba tetap tersenyum saat menghadapi berbagai macam cobaan. Dan wanita yang saat ini sedang kukepang rambutnya adalah ibuku. Yaa dialah Ibuku sosok yang begitu berarti dalam hidupku, si Penyemangat langkahku. Senyumnya adalah favoritku. Mentari Ibu, begitulah aku menyebutnya. Menenangkan, menghangatkan dan menebarkan semagat. Saat aku sedih aku hanya butuh senyum Ibuk. Tapi sayang 10 thn terakhir ini aku sangat jarang melihat senyum itu. Terakhir aku melihatnya 2 thn lalu, saat aku masuk SMA. Aku hanya tinggal berdua dengan Ibuk, dulu ada nenek dia yang merawat aku dan Ibuk. aku sangat menyayangi nenek, tapi Allah leih sayang padanya. Nenek meninggal 3 thn yang lalu karna memang umurnya yang sudah sangat renta. Karna itu aku sangat sayang pada Ibuk, aku belum siap kehilangan untuk yang kesekian kalinya.

“Ibuk mau makan sekarang? Ra ambilin ya” dan seperti biasa hanya diam yang kudapat sebagai jawaban. Yaaa ibuk mengalami sedikit ganguan pada jiwa semenjak Ibuk tau Bapak punya wanita lain. Awalya Ibuk cuma sedikit frustasi, tapi makin lama semakin parah. Ibuk jadi sangat jarang berbicara, ia hanya bicara seperlunya saja. Aku masih ingat, dulu Ibuk selalu gendong aku kemana-mana. Ibuk selalu bawak aku keladang pak Harun untuk nyari lidi buat dijual. Tapi itu dulu, sekarang yang Ibuk lakukan cuman melamun dan menangis dengan tiba-tiba. Ibuk terlalu cinta pada Bapak. Dan itu menyadarkanku kalau kita tidak boleh terlalu cinta pada ciptaannya tapi jau lebih baik kalauk ita mencintai penciptanya, Allah swt. Dan Bapak! Aku nggak tau dimana dia sekarang. Tapi bagaimana pun dia, aku tetap menyanginya. Aku juga seorang anak yang haus akan kasih sayangnya. Yaa aku rindu, rindu Bapak.

***

Keringat sudah membasahi tubuhku, tapi tak apa ini sudah biasa bagiku. Aku tetap mengayuh sepedaku penuh semangat. Sepeda ini aku beli dengan uang kemenangan ku dalam perlombaan olimpiade biologi sekabupaten tahun lalu. Aku bersekolah di salah satu SMA negri disini, itupun dengan beasiswa. Aku harus menjaga sikap dan etika ku karena Aku nggak mau kehilangan beasiswaku. Waktu itu hampir saja aku tidak melanjutkan sekolah selain karna biaya, Bu Juminah tetanggaku juga bilang aku harus jaga Ibuk. Iyasih memang aku harus jaga Ibuk tapi mau jadi apa aku kalau sampai nggak sekolah. Karna itu aku coba cari jalur beasiswa, dan alhamdulilah aku biasa dapetinnya. Maka dari itu aku juga nggak mau sia-siain kesempatan ini, aku harus belajar sungguh-sungguh dan buat Ibuk bangga. Jarak dari rumahku kesekolah 10km tapi alhamdulilah sebagian jalannya udah ada yang di aspal, jadi kakiku nggak terlalu letih untuk mengayuh sepeda ini.
aku bukan sosok yang mudah berinteraksi dengan orang-orang sekelilingku, berbicara seperlunya saja. Karna itu, banyak orang yang bilang kalau aku itu sombong.

“Aira” aku celingukan mencari orang yang memanggilku. Ohh ternyata Ratna,dia ini teman satu klsku. Sebangku juga dari kls X. “Nih ada surat dari bang Riza anak XII Mia 3. Terima kali ini harus diterima ya Ra bang Riza ganteng loh, awas aja kalau sampe kamu tolak lagi.” Aku cuman senyum sambil ambil surat itu. Bukannya sombong. Tapi setiap bulannya memang slalu ada yang ngajak aku pacaran, ntah itu langsung atau pake surat. Ya ini contohnya. Tapi semuanya aku tolak, aku nggak ada waktu untuk hal kayak gitu. Banyak hal lebih penting yang harus aku kerjain. Pagi sampe siang aku harus sekolh. Pulangnya biasa aku cari lidi dari pelepah sawit buat dijual. Habis maghrib aku buat kueh utuk dititipkan ke warung-warung. Kalau belajar biasanya aku belajar sebelum shalat subuh, setelah tahajud. Dan nggak ada waktu buat yang namanya pacaran. “Aishh Aira pasti ditolak lagi nih. Udah ah ke klas aja yuk.”

***

“Assalamualaikum. Buk ini Aira bawain martabak bangka kesukaan Ibuk, kita makan yuk Buk.” Aku cari Ibuk kekamar, dan benar Ibuk ada disana. Tapi aku sangat terkejut melihat keadaan Ibuk, tanpa sadar martabak yang ada ditanganku sudah jatuh kelantai. Kamar Ibuk berantakan dan  Ibuk sedang menangis dipojokan kamar dengan tangan yang berdarah mungkin karna goresan kaca yang sudah berserakan dimana-mana. Jika senyum Ibuk adalah favoritku maka tangisan Ibuk adalah hal yang paling tidak ingin kulihat, tangisan Ibuk adalah kelemahanku. Aku berlari kemudian memeluk Ibuk, tapi Ibuk langsung mendorongku kemudian berteriak histeris. mataku sudah tak mampu lagi membendung butiran air yang jatuh ke pipiku. Aku memeluk Ibuk erat, tapi Ibuk tetap berontak dan tanpa sengaja melukai tanganku. Ini sudah biasa terjadi, dan jika sudah begini aku hanya bisa menangis dikamarku. Segala benda yang ada di ruangngan ini hanya menjadi saksi bisu tangisanku. Setelah Ibu tenang baru aku membersihkan kamar Ibuk dan mengobati lukanya.

Kondisi Ibuk yang nggak memungkinkan untuk bekerja mengharuskan ku untuk mencari lidi agar kami bisa tetap bertahan hidup. Hidup itu keras, karna itu aku nggak boleh jadi orang yang lemah. Karna kalau aku lemah maka aku akan kalah dengan kerasnya hidup. Saat anak-anak remaja seusiaku menghabiskan waktunya untuk berkumpul dengan temn-teman maka itu nggak berlaku untukku. Jujur, aku sering iri degan teman-teman ku yang slalu mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Serperti Ratna contohnya, dia selalu dibuatkan bekal oleh Ibunya dan diantar kesekolah dengan Ayahnya. Ahhh sudahlah, bagaimanapun hidup ini aku harus tetap mensyukurinya. Banyak orang diluar sana yang lebih susah hidupnya dibanding aku. Aku hanya perlu bersyukur dan berserah diri pada Allah. Mengingatnya dan mencintainya. Agar Allah juga slalu mengingatku dan mencintaiku. Aku mengngkat lidi yang sudah kubersihkan kesepeda, kemudian mengikatnya dengan tali ban. Hari sudah semakin larut, aku harus segera pulang karna aku belum shalat ashar. Tapi baru saja aku akan mengayuh pedal sepedaku tiba-tiba bu Juminah datang dengan anaknya, kemudian berlari menemuiku. Nafas bu Minah tersenggal “Ibumu Ra.. Ibumu” fikiranku sudah melayang-layang ntah dimana saat bu Minah menyebut Ibuk. “Ibuk Ra knapa Bu? Astaghfirullah tarik nafas dulu Bu.. cepat kasih tau knpa Ibu Ra?” wajah ku sudah di penuhi dengan airmata “Ibukmu ada di jembatan, Ibukmu mau bunuh diri Ra” Aku langsung mengayuh sepedaku secepat mungkin. Bayang-bayang wajah Ibuk sudah memenuhi otak ku.
Jembatan itu sudah dikerumuni orang-orang desaku. Aku langsung berlari membelah kerumunan itu. Dadaku semangkin sesak saat melihat kondisi Ibuk, wajahnya terlihat pucat dan kusam. Rabutnya sudah berserak tak beraturan. Aku mendekat kearah Ibuk, tapi Ibuk malah semakin maju kedepan. Sebisa mungkin aku coba untuk tenang, aku masih ingin Ibuk tinggla bersamaku. Aku belum siap untuk ditinggalkan Ibuk.

“Buk.. ini Aira. Kita pulang ya buk, ibuk pulang ya sama Aira.” Aku mulai melangkah lebih dekat. “pergi…pergi kalian semua dari sini. Kalian jahat, kalian ssemua jahat. Nggak ada yang sayang sama saya. kalian semua nggak ada yang sayang sama saya.” Ibuk berteriak histeris sambil terus menangis. Ohh tidak jika tangn Ibu sampai terlepas dari pegngannya, tamatlah semua. Ya Allah tolong bantu Aira “Aira sayang sama Ibuk, semua orang disini sayang sama Ibuk. Nggak ada yang jahat sama Ibuk.turun ya Buk, pulang ya bareng Aira. Nanti Aira masakin tempe bacem kesukaan Ibuk. Pulang bareng Aira ya Buk.”

“Nggak saya nggak mau turun, saya mau mati aja. Saya capek hidup, untuk apa saya hidup. Tuhan jahat, tuhan jahat sama saya.” aku menghela nafas, mencoba untuk lebih tenang. “Terserah Buk, terserah Ibuk. Kalau Ibuk mau lompat silahkan, silahkan Buk. Ibuk egois, Ibuk nggak pernah mikirin Aira. Ibuk terlalu larut dalam kesedihan Ibuk, sampai-sampai Ibuk lupa kalau ada Aira yang slalu ada didekat Ibuk, yang slalu sayang samaIbuk. Aira masih butuh Ibuk, Aira masih ingin melihat senyum Ibuk, Aira pingin dipeluk Ibuk, Aira pingin Ibuk slalu perhatiin Aira.” Lututku terasa lemas, tak tahan lagi menahn tubuhku. Buk Juminah mengusap pelan bahuku, mencoba menenangkan. “Jangan lakuin hal bodoh itu Buk, Allah bakal ngbenci Ibuk. Aira mohon Buk, Aira mohon..” Ibu turun dari pagar jempatan, aku tersenym. Aku merasa lega, warga yang melihat pun mengucap syukur. Ibuk mendekatiku dan memelukku erat. Hangat itu yang kurasakan, sudah bertahun-tahun lamanya aku tak merasakan pelukan ini. Trimakasih YaAllah.. trimakasih.

***

Setelah kejadian kemarin, Ibuk mengunci diri di kamar. Aku juga tak berani untuk mengetuk pintunya. Aku ingin berpamitan pada Ibuk kesekolah, tapi pintu kamar Ibuk sudah terbuka dan ibuk nggak ada didalam. Aku ke teras, ternyata Ibuk sedang duduk disana duduk di bangku rotan yang sudah cukup tua. Penampilan Ibuk sudah terlihat jauh lebih baik dari kemarin. Aku menghampirinya, kemudian mengambil tangan nya untuk kuciumm lalu aku mengucapa salam. Aku mengambil sepedaku yang berda disamping rumah, tapi kuurungkan saat melihat Buk Juminah datng embawa rantang ditangannya. “kok belom pergi kamu Ra?” tanya buk Minah “tadi udah mau berangkat, cuman liat bu Minah datang jadi Ra temuin Ibuk dulu.” Buk Minah menaruh rantang ke atas meja kemudian duduk di kursi rotan yang ada disebelahnya. “Kayaknya Ibuk kamu perlu segara dibawa ke dokter Ra, Ibuk kamu makin nekat.” Ucapnya sambil menatap mataku. “Bahkan Ra udah mikirin itu sejak dulu Buk, Ra udah kumpulin uang buat pengobatan Ibuk. Tapi sampai sekarang uangnya masih belum cukup.”  Jawabku sambil merunduk. “yang sabar ya Ra, maaf Ibuk nggak bisa bantu banyak. Udah kamu ke sekolah sana. Nanti terlambat.” Aku mengangguk kemudian menjawab “Iya buk, Ra titip Ibuk Ra ya. Ra berangkat Assalmualaikum.”

***

Sekolah sudah dipenuhi dengan para siswa yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Setelah memarkirkan sepeda aku duduk sebentar bangku kayu yang ada disekitar untuk minum, menghilangkat sedikit rasa penat yang hinggap. aku melihat jam yang melingkar manis ditangan kiriku. Sudah jam tujuh lewat lima menit, 10 menit lagi bel masuk pasti berbunyi. Aku berjalan keklsku, smbil menyapa beberapa orang yang kukenal. Baru aku ingin masuk kekls tiba-tiba ada yang memanggilku. “Aira kamu dipanggil bu Risma, disuruh temui beliau dikantor.” Namanya kak Muti, dia kakak kls ku. Setelah mengucapkan terimakasih aku berbalik arah menuju ke ruang guru. Kuketuk pintu kemudian mengucap salam. Mataku menyapu ruangan tersebut, akhirnya sosok yang kucaripun terlihat. Padahal masih pagi, tapi guru biologiku tersebut sudah sibuk berkutat dengan laptopnya. “Assalamualaikum bu, Ibu tadi panggil Aira ya?” Bu Risma menolehkan kepalanya ke arahku “eh iya Aira gini, Ibuk mau ngasih info 2minggu lagi bakal ada olimpiade . kamu wakili anak Biologi bisakan?” tanya bu Risma yang memfokuskan pandangannya padaku. Tanpa fikir panjang aku langsung mengangguk mantap. “iya buk, Aira siap.” Bu Risma tersenyum sekilas. “yaudah kamu balik kekelas sana. Sebentar lagi udah mau bel.” Ucap Bu Risma kembali fokus pada leptopnya. Semoga saja keputusan yang kuambil sudah benar, kalau aku menag uangnya bisa aku pakai untuk berobat Ibu. kalau ditambah uang tabunganku InsyaAllah pasti cukup. Bismillahirahmanirrahim aku nggakboleh sia-siain kesempatan ini.

Setelah melewati beberapa les mata pelajaran bel pulang sekolahpun berbunyi. Membuat seluruh siswa bergegas keluar kelas, termasuk aku. Aku mengayuh sepedaku cukup kencang, cuaca hari ini cukkup panas. Sesampainya dirumah aku segara mengganti seragam sekolahku dengan pakaian rumah. Setelah itu kubasuh wajahku dengan air untuk menghilangkan sedikit rasa panas yang tadi sempat hinggap. kemudian akupun makan dan bersip-siap untuk kembali bertempur melawan panasnya matahari untuk mencari lidi. Sebelum itu kusempatkan untuk menemui Ibuk. Kuketuk pintu kamar Ibuk, kulihat Ibuk sedang tertidur dengan pulas diatas ranjang. Kuraih tangannya, kemudian kukecup dan kuhirup tangan Ibuk yang sudah terlihat sedikit keriput. Kutatap kembali wajah Ibuk, kemudian kucium keningnya. Setelah itu akupun keluar dan kututup pintu kamar Ibuk pelan, karna takut akan mengganggu tidur nyenyaknya. Kuayuh sepedaku dengan penuh semangat, panas matahari bukanlah masalh besar itu sudah biasa bagiku. Dengan gesit Aku mulai memisahkan lidi-lidi tersebut dari batangnya dan begitupun seterusnya.

Dengan berbekalkan semangat yang luar biasa, Alhamdulillah aku membawa cukup banyak lidi hari ini. Dan juga beberapa rupiah dari pemilik tanah tempat aku mencari lidi tadi, karna aku telahmembantunya membersihkan ladang. Sesampainya dirumah, aku mandi kemudian memasak untuk makan malam. Setelah maghrib aku membaca buku pelajaran, juga mengerjakan Pr. Aku memutuskan untuk berhenti berjualan dadar untuk sementara, agar selepas isya aku bisa melanjutkan belajar kembali dengan membahas soal yang diberikan Bu Risma untuk persiapan perlombaan. Begitulah seterusnya kegiatan yang kulakukan hingga 2minggu kedepan.

***

Salah satu guruku pernah berkata, bersyukur adalah nikmat terindah yang diberikan Allah kepada umatnya. Hari ini adalah hari yang kunantikan, hari dimana aku harus berjuang. Bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk sekolahku dan juga orang-orang yang selalu mendukungku terutama Ibuku. Aku sudah memantapkan hati, jika aku menang artinya kerja kerasku selama ini membuahkan hasil yang sempurna, aku bisa membawa ibuk berobat. Namun jika aku gagal bukan berarti apa yang telah kulakukan sia-sia, itu semua bisa menjadi bekal untuk perjuanganku yang lainnya. Aku bukan sosok lemah yang hanya karna kekalahan membuatku terjebak dalam keterputus asaan. Yang terpenting aku sudah brusaha, berusaha semaksimal mungkin. Sebelum aku berangkat untuk perlombaan, aku menemui Ibuk terlebih dahulu. Ibuk sedang duduk dikursi rotan tua yang ada di teras. Aku duduk disebelah kakiIbuk menatap wajahnya sebentar, kemudian mencim tangannya cukup lama. Dadaku tersa sesak, tanpa sadar setets air jatuh dari mataku. Aku kembali menatap wajah Ibuk yang semakin menua. “Doain Aira ya buk, semoga Aira bisa menang lagi dalam olimpiade kali ini. Supaya Aira bisa bawa Ibu berobat. Aira sayng Ibuk, Aira berangkat ya Buk Asslamualaikum.” Aku memeluk Ibuk kemudian mencium pipinya.

Aku menatap soal-soal yang tertera di layar leptop. Aku mengerjakan dengan penuh konsentrasi. 2jam pun berlalu, waktupun habis untungnya soalku sudah terjawab semua. tetapi Aku sedikit pesimis, cukup banyak soal yang tidak kumengerti jawabnnya.

~

Setelah menunggu cukup lama, akhirya pemenang perlobaan akan diumumkan. Jantungku berdegup kencang, juujr aku sangat berharap bisa memenangkan perlombaan ini. Juara ketiga dan kedua sudah diumumkan, dannn aku tersenyum ceria kemudian bersujud syukur. Saat terdenagr jelas namaku disebut jelas oleh pembawa acara “Dan juara pertama jatuh kepada.. KAIRA ANANDA beri aplus meriah kepada kaira.”

***

Sesesampainyadirumah aku segera mengambil piala yang kutaruh di keranjang sepedaku,kemudian aku berlari dan memeluk Ibuk yang duduk dikursi rotan tua kesayangannya. “Buk, Ira berhasil buk. Aira menang Aira bakal bawa Ibuk periksa, Ibuk harus sembuh. Pokonya Ibuk harus sembuh. Aku melepas pelukanku, kemudian mengambil tangan Ibuk dan menciumnya. Kutatap wajh Ibuk senyum kecil tercetak dibibirnya, walau singkat tapi senyum itu sangat berarti bagiku. Aku memeluk Ibuk lagi, kurasakan sebuah tangan membelai rambutku. “ibuk sayang Aira.” Aku melpas pelukanku, dan menatap Ibuk lekat. “Besok kita ke Dokter yaBuk Ibuk harus sembuh.” Ibuk menganggukkan kepala.

Indahnya mentari Ibu. kenapa mentar Ibu? karena aku selalu merasakan kenyamanan saat didekat Ibu. senyumnya, juga pelukannya hangat seperti sinar mentari. Ibu sosok yang sangat berarti bagiku, mengajarkanku banyak hal hingga aku bisa menjadi anak yang kuat. terimakasih Ibu, pemompa semangat dalam hidupku.

Pict : https://id.pinterest.com/

One thought on “Indahnya mentari Ibu | Cerpen |

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

Copy link
Powered by Social Snap